Rumah Adat Banjar, Teluk Selong, Martapura Barat
Kesultanan
Banjar (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni
1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah
kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan,
Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan
ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura
disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika
ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan
Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha
yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota
kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
A.
SEJARAH
Menurut
mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama
adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas
mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan
yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah
kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah
melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar.
Kerajaan
ini mendapat serangan dari Jawa (Majapahit) sehingga sebagian rakyatnya
menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan
arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota
Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang
Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono
dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik
dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan
Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai
Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut
Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa
bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja
Dompu (Sang Kula), raja-raja Bali (Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Arjuna)
yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.
Sesuai
Tutur Candi, di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari
dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini
digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan
Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian
Maharaja
Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya
Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari.
Ayah
dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan,
saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam
keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai pengganti Sukarama
yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja Negara
Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama.
Raden
Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya,
tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia
berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih
(Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya
melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan
sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir
Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya
Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih.
Setelah
mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan dari daerah pesisir
Kalimantan dan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih
kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama,
sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu
penduduk.
Tomé
Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai)
masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini
tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak.. Kemungkinan besar penguasa Sambas
dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati
Unus/Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) sebelum penyerbuan ke Malaka.
B.
MASA KEJAYAAN
Kesultanan
Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada
sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan
Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang
penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi
Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi
gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan
Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan
Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622
Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan
kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring
dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek
militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar
mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai,
Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam,
Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi
pada tahun 1636.
Sejak
tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram,
tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan
Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau
Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan
Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar
sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi
kebudayaan Jawa.
Disamping
menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga
harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram
mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama
bertahun-tahun.[7]Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang
pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin.
Sebelum
dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat
berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur berbatasan dengan
Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan tersebut, rajanya bergelar
Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan.
Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk
Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
C.
WILAYAH
KESULTANAN BANJAR
Wilayah
Kesultanan Banjar adalah wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar.
Kesultanan
Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan
wilayah inti meliputi 5 negeri besar yaitu Kuripan (Amuntai), Daha
(Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum
(Tanjung). Selanjutnya Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan
Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat
Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala
Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas
(Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri
Karasikan (Kepulauan Sulu) lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda.
Dahulu
kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung
lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan
bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan
bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal.
Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini
juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti
kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan.
Suku
Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan,
bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa
kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang
mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.
Teritorial
Kerajaan Banjar pada abad ke 14-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini
tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu
:
1. Negara Agung
2. Mancanegara
3. Daerah Pesisir (daerah terluar)
Wilayah
kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan
berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan.
Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena
tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau
sampai keluar pulau Kalimantan.
Kerajaan
Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M
hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas
yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian
runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas
hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada
saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan
Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih
bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh
pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan
oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M.
Sejak
berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah
berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak
manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya
oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara
terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar
Kamaluddin).
Dalam
perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan
yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
I.
Wilayah
(teritorial) pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar
Sejak
dipindahkan ibukota ke Daerah Martapura (Martapura, Riam Kanan atau Kayu Tangi,
Riam Kiwa) maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan
II. Wilayah (teritorial)
kedua, Negara Agung terdiri dari :
1.
Tanah
Laut atau Laut Darat terdiri :
a.
Satui
b.
Tabunio.
Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
c.
Maluka,
daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang,
Kurau dan Pulau Lamai.
2.
Daerah
Banjar Lama (Kuin) dan Pulau Tatas (Banjarmasin). Pulau Tatas diserahkan kepada
VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa
diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin)
sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan
sampai 1860.
3.
Margasari.
Wilayah kerajaan sampai 1860.
4.
Banua
Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi
dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
5.
Amandit.
Wilayah kerajaan sampai 1860.
6.
Labuan
Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
7.
Alay.
Wilayah kerajaan sampai 1860.
8.
Banua
Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai
dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
9.
Pulau
Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anjaman ke hilir sampai
kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah
Pulau Burung.
10. Tanah Dusun
yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787
Tanah Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun
Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah
inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
III.
Wilayah
(teritorial) ketiga, yaitu Mancanegara,
dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar
sebelum pemekaran yang terdiri dari :
a.
Wilayah
Barat (Kalimantan Tengah, sungai Jelai, Lawai): yaitu wilayah Kerajaan
Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju). Kerajaan Kotawaringin (meliputi wilayah
inti seperti Jelai dan Kumai), serta Pembuang, Sampit, Mendawai yang dijadikan
Afdeling Sampit termasuk daerah Lawai (Pinoh) yaitu jajahan Kotawaringin yang
terletak di hulu sungai Melawi bersebelahan dengan kawasan udik sungai Mandawai
(Katingan). Semuanya merupakan wilayah Kerajaan Kotawaringin. Juga wilayah
Tanah Dayak atau Biaju, yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan (Tumbang
Anoi) yaitu daerah suku Dayak Rumpun Ot Danum beserta semua daratan yang takluk
kepadanya termasuk hulu sungai Kapuas dan hulu sungai Mahakam. Semua wilayah
Kotawaringin ini serta Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787.
b.
Wilayah
Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Kesultanan Paser dan Kerajaan Tanah Bumbu.
Kesultanan Pasir didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau
Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar. Paser
diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa
Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan
Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada
mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan
wilayah intinya terutama terdiri atas 7 daerah: Cengal (Pamukan), Manunggul,
Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada
bulan Juli 1825, Pangeran Aji Jawi, Raja Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal,
Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut) membuat kontrak
politik dengan Hindia-Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja.
Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi
swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut
dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja
tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai
Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa,
kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan
negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir
bin Sultan Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan
Banjar. Sultan Banjar melantik La Pangewa sebagai kapitan bergelar Kapitan Laut
Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari
Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai
swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan diserahkan kepada
Raja Pagatan dan kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban.
Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda
menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang
meliputi Kesultanan Pasir dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan,
Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut,
Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo
Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
IV.
Wilayah
(teritorial) keempat adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua
wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan
Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan
Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali daerah
yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau.
Daerah Pesisir terdiri dari :
a.
Pesisir
Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan
jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling
Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.
1.
Wilayah
Tanah Kutai. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei
1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
2.
Wilayah
Tanah Berau (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) serta
daerah Berau yang melepaskan diri yaitu Bulungan dan Tidung. Diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
3.
Wilayah
terluar di timur yaitu Karasikan (Buranun/Kerajaan Sulu kuno). Karasikan
artinya daerah yang berpasir (karasik = pasir).
b.
Pesisir
Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang
kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
1.
Wilayah
Batang Lawai atau hulu sungai Kapuas (Sanggau, Sintang dan Lawai).[10] Wilayah
Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan
jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan
perjalanan laut menuju sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai
diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit
dengan Dara Juanti, puteri Raja Sintang. Kerajaan Sintang dan Lawai (Kabupaten
Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4
Mei 1826. Lawai sebelumnya sudah diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787.
2.
Wilayah
Tanah Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan
Sanggau, Kerajaan Sekadau serta Kerajaan Mempawah). Kerajaan
Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kesultanan Sukadana
menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden
Saradewa/Giri Mustika alias Sułtan Muhammad Safi ad-Din dengan Putri Gilang
(Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah pada sekitar tahun 1638 maka sebagai
hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti dan dianugerahi
daerah Jelai oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan
di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai
daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal
Kesultanan Banten setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700
(dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal
Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26
Maret 1778, kemudian diserahkan oleh VOC di bawah pemerintahan Sultan
Pontianak.
3.
Wilayah
terluar di barat adalah Tanah Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era
pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan
terakhir kalinya Dipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji
intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan (1595-1642). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat
VOC-Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada
Sultan Agung, raja Mataram pada tahun 1641 yang merupakan persembahan terakhir
yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram). Semula Kerajaan
Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati Sambas,
selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dimana
penguasanya mengambil gelar yang lebih tinggi Sultan maka dinamakan Kesultanan
Sambas dan mulai tahun 1855 digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota
dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Pada
abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan
kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang
pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang
menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya,
menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.
Putera
dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu
Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada
pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian
kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar
pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata
Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah
kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC
menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya
dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa
melarikan diri kembali ke negeri Pasir.
Beberapa
waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para
bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di
daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran
yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun
1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC,
dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC.
Dalam
tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan
Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan
perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai
pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat
kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab
pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian
itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin
pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq
Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra
Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan
oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan
politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda
di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau
pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri
pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri
hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa
pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
1.
Kerajaan
Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan
Belanda.
2.
Wilayah
Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian
dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti
tersebut dalam Pasal 4 :
a)
Pulau
Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
b)
Pulau
Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
c)
Mantuil
seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan
sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau
Tatas.
d)
Sungai
Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
e)
Pulau
Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di
kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
f)
Segala
Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai
terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
g)
Tanah
Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak
mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
h)
Tanah
Mandawai.
i)
Sampit
j)
Pambuang
semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
k)
Tanah
Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
l)
Desa
Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai
batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku,
Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai
perbatasan dengan Tanah Pagatan.
m)
Negeri-negeri
di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya
dengan yang takluk padanya.
3.
Penggantian
Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4.
Belanda
menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari
dalam negeri.
5.
Beberapa
daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada
Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk
berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
a)
Padang
pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
b)
Padang
Bajingah
c)
Padang
Penggantihan
d)
Padang
Munggu Basung
e)
Padang
Taluk Batangang
f)
Padang
Atirak
g)
Padang
Pacakan
h)
Padang
Simupuran
i)
Padang
Ujung Karangan
6.
Belanda
juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus
dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada
Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan
kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus
khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan
Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang
Sultan.
Pada tahun 1860,
Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang
berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai
(Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga
meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent
di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1930.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar